Lanjutan UU Pemilu
BAB XIV
PENGAWASAN, PENEGAKAN HUKUM, DAN PEMANTAUAN PEMILIHAN UMUM
BAB XV KETENTUAN
PIDANA
BAB XVI KETENTUAN
PERALIHAN
BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
PENJELASAN
Sumber Data : KPU, April 2003
kembali ke depan | ke halaman sebellumnya
BAB XIV
PENGAWASAN, PENEGAKAN HUKUM,
DAN
PEMANTAUAN PEMILIHAN UMUM
Bagian Pertama
Pengawasan
Paragraf
Pertama
Pengawas Pemilihan Umum
Pasal 120
(1) Untuk melakukan pengawasan Pemilu, dibentuk
Panitia Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas
Pemilu Kabupaten/ Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan.
(2) Panitia Pengawas Pemilu dibentuk oleh KPU.
(3) Panitia Pengawas Pemilu Provinsi dibentuk oleh
Panitia Pengawas Pemilu.
(4) Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota dibentuk
oleh Panitia Pengawas Pemilu Provinsi.
(5) Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan dibentuk oleh
Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota.
Pasal 121
(1) Panitia Pengawas Pemilu bertanggung jawab kepada
KPU.
(2) Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia
Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan
bertanggung jawab kepada Panitia Pengawas Pemilu yang membentuknya.
Pasal 122
(1) Pengawas Pemilu mempunyai tugas dan
wewenang:
(2) Uraian tugas dan hubungan kerja antara Panitia
Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu
Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan diatur oleh Panitia
Pengawas Pemilu.
(3) Guna menunjang pelaksanaan pengawasan Pemilu,
penyelenggara Pemilu dan pihak terkait lainnya harus memberikan kemudahan kepada
pengawas Pemilu untuk memperoleh informasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Paragraf Kedua
Organisasi dan Keanggotaan
Pengawas Pemilihan Umum
Pasal 123
(1) Panitia Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu
Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu
Kecamatan terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, dan dibantu seorang
wakil ketua merangkap anggota serta para anggota.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, Panitia Pengawas
Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu
Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan dibantu oleh sekretariat.
(3) Tata kerja
sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh KPU.
Pasal 124
(1) Anggota Panitia Pengawas Pemilu
sebanyak-banyaknya 9 (sembilan) orang, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi
sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) orang, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota
sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) orang, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan
sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang yang berasal dari unsur kepolisian negara,
kejaksaan, perguruan tinggi, tokoh masyarakat, dan pers.
(2) Apabila dalam suatu kabupaten/kota atau kecamatan
tidak terdapat unsur kejaksaan, perguruan tinggi, atau pers, keanggotaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diisi dari unsur tokoh masyarakat.
(3) Tata cara pengisian keanggotaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh KPU dengan memperhatikan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 125
(1) Ketua dan wakil ketua Panitia Pengawas Pemilu,
Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, dan
Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan dipilih dari dan oleh anggota.
(2) Setiap
anggota pengawas Pemilu memiliki hak suara yang sama.
Pasal 126
Panitia Pengawas
Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu
Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan dibentuk sebelum
pendaftaran pemilih dimulai dan tugasnya berakhir selambat-lambatnya 1 ( satu)
bulan setelah seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu anggota DPR dan/atau DPD
atau DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota selesai.
Bagian Kedua
Penegakan Hukum
Paragraf
Pertama
Penanganan Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa Pemilihan Umum
Pasal 127
(1) Pengawas Pemilu menerima laporan
pelanggaran Pemilu pada setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu.
(2)
Laporan pelanggaran Pemilu dapat diajukan oleh:
(3) Laporan disampaikan
secara lisan/tertulis yang berisi:
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disampaikan kepada pengawas Pemilu sesuai dengan wilayah kerjanya
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak terjadinya pelanggaran Pemilu.
(5) Tata cara pelaporan lebih lanjut diatur oleh
Panitia Pengawas Pemilu.
Pasal 128
(1) Pengawas
Pemilu mengkaji setiap laporan pelanggaran yang diterima.
(2) Pengawas Pemilu memutuskan untuk menindaklanjuti
atau tidak menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah laporan diterima.
(3) Dalam hal pengawas Pemilu memerlukan keterangan
tambahan dari pelapor untuk melengkapi laporannya, putusan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah laporan
diterima.
(4) Laporan yang
bersifat sengketa dan tidak mengandung unsur pidana diselesaikan oleh pengawas
Pemilu.
(5) Laporan yang
mengandung unsur pidana diteruskan kepada penyidik.
Pasal 129
(1) Pengawas Pemilu menyelesaikan sengketa
melalui tahapan sebagai berikut:
(2) Penyelesaian persengketaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling lama 14 (empat belas) hari sejak pihak-pihak yang
bersengketa dipertemukan.
Pasal 130
Pengawas Pemilu
meneruskan temuan yang merupakan pelanggaran administrasi kepada KPU dan
pelanggaran yang mengandung unsur pidana kepada penyidik.
Paragraf Kedua
Penyidikan dan Penuntutan
Pasal 131
(1) Segala ketentuan mengenai penyidikan dan
penuntutan terhadap tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini berlaku
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan
lain dalam undang-undang ini.
(2) Penyidikan atas tindak pidana yang diatur dalam
undang-undang ini diselesaikan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
diterimanya laporan.
(3) Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
setelah selesainya penyidikan, penyidik menyerahkan berkas perkara kepada
penuntut umum.
(4) Penuntut umum melimpahkan berkas perkara kepada
pengadilan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak diterimanya berkas
perkara dari penyidik.
Pasal 132
Tindakan
kepolisian terhadap pejabat negara sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor
13 Tahun 1970 tentang Tata Cara Tindakan Kepolisian terhadap
Anggota-anggota/Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong tidak berlaku bagi anggota/pimpinan Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat yang melakukan tindak pidana
yang diatur dalam undang-undang ini.
Paragraf Ketiga
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Pasal 133
(1) Pemeriksaan
atas tindak pidana dalam undang-undang ini dilakukan oleh pengadilan di
lingkungan peradilan umum.
(2) Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah pengadilan negeri untuk pelanggaran dengan ancaman pidana kurang dari 18
(delapan belas) bulan yang merupakan tingkat pertama dan terakhir.
(3) Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah pengadilan negeri pada tingkat pertama dan pengadilan tinggi sebagai
pengadilan tingkat banding dan terakhir, untuk pelanggaran dengan ancaman pidana
18 (delapan belas) bulan atau lebih.
(4) Penyelesaian perkara sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3) oleh pengadilan negeri paling lama 21 (dua puluh satu)
hari dan oleh pengadilan tinggi paling lama 14 (empat belas) hari sejak
diterimanya berkas perkara.
Pasal 134
Dalam hal
terjadi perselisihan tentang hasil Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104,
diperiksa dan diputuskan untuk tingkat pertama dan terakhir oleh Mahkamah
Konstitusi.
Bagian Ketiga
Pemantauan Pemilihan Umum
Pasal 135
(1) Pemantauan pelaksanaan Pemilu dapat
dilakukan oleh pemantau Pemilu.
(2) Pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi lembaga swadaya masyarakat, badan hukum, dan perwakilan pemerintah
luar negeri.
(3) Pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dari dalam dan luar negeri harus mendaftarkan diri di KPU.
(4) Pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) harus memenuhi syarat:
Pasal 136
(1) Pemantau Pemilu dapat melakukan pemantauan
terhadap penyelenggaraan Pemilu dan menyampaikan laporan hasil pemantauannya
kepada KPU.
(2) Pemantau Pemilu wajib mematuhi segala
peraturan yang ditentukan oleh KPU dan peraturan perundang-undangan.
(3) Pemantau Pemilu yang tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau tidak lagi memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 ayat (4), dicabut haknya sebagai pemantau
Pemilu.
(4) Tata cara untuk menjadi
pemantau Pemilu dan tata cara pemantauan Pemilu
ditetapkan oleh KPU.
BAB XV
KETENTUAN PIDANA
Pasal
137
(1) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan
keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang
suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar pemilih, diancam dengan pidana
penjara paling singkat 15 (lima belas) hari atau paling lama 3 (tiga) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atau paling
banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan
orang lain kehilangan hak pilihnya dan orang yang kehilangan hak pilihnya
tersebut berkeberatan, diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp200.000,00
(dua ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan surat
yang menurut suatu aturan dalam undang-undang ini diperlukan untuk menjalankan
suatu perbuatan dalam Pemilu, dengan maksud untuk digunakan sendiri atau orang
lain sebagai seolah-olah surat sah atau tidak dipalsukan, diancam dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan belas) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling
banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).
(4) Setiap orang yang dengan sengaja dan mengetahui
bahwa suatu surat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tidak sah atau
dipalsukan, menggunakannya, atau menyuruh orang lain menggunakannya sebagai
surat sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau
paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00
(enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).
(5) Setiap orang yang dengan kekerasan atau dengan
ancaman kekerasan atau dengan menggunakan kekuasaan yang ada padanya pada saat
pendaftaran pemilih menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih
dalam Pemilu menurut undang-undang ini, diancam dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak
Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).
(6) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan
perbuatan curang untuk menyesatkan seseorang atau dengan memaksa atau dengan
menjanjikan suatu imbalan dengan maksud untuk memperoleh dukungan bagi
pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah dalam Pemilu, diancam dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan belas) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling
banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).
(7) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan
keterangan yang tidak benar atau menggunakan surat palsu seolah-olah sebagai
surat yang sah tentang suatu hal yang diperlukan bagi persyaratan untuk menjadi
peserta Pemilu, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau
paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00
(enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).
Pasal 138
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar
ketentuan mengenai larangan pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 74 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, diancam dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan belas)
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau
paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar
ketentuan mengenai larangan pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 74 huruf f dan huruf g, diancam dengan pidana penjara paling singkat
1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan
kampanye di luar jadwal waktu yang telah ditetapkan oleh KPU untuk masing-masing
peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3), diancam dengan
pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari atau paling lama 3 (tiga)
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atau
paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(4) Setiap orang yang dengan sengaja mengacaukan,
menghalangi, atau mengggangu jalannya kampanye Pemilu, diancam dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak
Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).
(5) Setiap orang yang memberi atau menerima dana
kampanye melebihi batas yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat
(2), diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) bulan atau paling
lama 24 (dua puluh empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
(6) Setiap orang yang dengan sengaja menerima atau
memberi dana kampanye dari atau kepada pihak-pihak yang dilarang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1), diancam dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) bulan atau paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan/atau denda paling
sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) atau paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(7) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan
keterangan yang tidak benar dalam laporan dana kampanye Pemilu sebagaimana
diwajibkan oleh undang-undang ini, diancam dengan pidana penjara paling singkat
2 (dua) bulan atau paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling
sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau paling banyak Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah).
Pasal 139
(1) Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan dan menghalang-halangi seseorang yang akan
melakukan haknya untuk memilih, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2
(dua) bulan atau paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau
menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan
hak pilihnya, atau memilih peserta Pemilu tertentu, atau menggunakan hak
pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 12 (dua
belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah)
atau paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(3) Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara
dengan sengaja mengaku dirinya sebagai orang lain, diancam dengan pidana penjara
paling singkat 15 (lima belas) hari atau paling lama 60 (enam puluh) hari
dan/atau denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atau paling
banyak Rp1.000.000,00 ( satu juta rupiah).
(4) Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara
dengan sengaja memberikan suaranya lebih dari satu kali di satu atau lebih TPS,
diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 4
(empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp200.000,00 ( dua ratus ribu
rupiah) atau paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
(5) Setiap orang yang dengan sengaja menggagalkan
pemungutan suara diancam dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan
atau paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah) atau paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(6) Seorang majikan/atasan yang tidak memberikan
kesempatan kepada seorang pekerja untuk memberikan suaranya, kecuali dengan
alasan bahwa pekerjaan tersebut tidak bisa ditinggalkan, diancam dengan pidana
penjara paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 12 (dua belas) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau paling
banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(7) Setiap orang yang dengan sengaja pada waktu
pemungutan suara mendampingi seorang pemilih selain yang diatur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1), diancam dengan pidana penjara paling singkat 2
(dua) bulan atau paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah).
(8) Setiap orang yang bertugas membantu pemilih
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1), dengan sengaja memberitahukan
pilihan si pemilih kepada orang lain, diancam dengan pidana penjara paling
singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau paling banyak
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Pasal 140
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan
perbuatan yang menyebabkan suara seorang pemilih menjadi tidak berharga atau
menyebabkan peserta Pemilu tertentu mendapat tambahan suara atau perolehan
suaranya berkurang, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan
atau paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah) atau paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja merusak atau
menghilangkan hasil pemungutan suara yang sudah disegel, diancam dengan pidana
penjara paling singkat 4 (empat) bulan atau paling lama 2 (dua) tahun dan/atau
denda paling sedikit Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) atau paling banyak
Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
(3) Setiap orang yang karena kelalaiannya menyebabkan
rusak atau hilangnya hasil pemungutan suara yang sudah disegel, diancam dengan
pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari atau paling lama 2 (dua)
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atau
paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(4) Setiap orang yang dengan sengaja mengubah hasil
penghitungan suara dan/atau berita acara dan sertifikat hasil penghitungan
suara, diancam dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan atau paling
lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 141
Jika tindak pidana
dilakukan dengan sengaja oleh penyelenggara atau peserta Pemilu, ancaman
pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga) dari pidana yang tersebut dalam pasal yang
bersangkutan.
kembali ke atas
BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal
142
Partai Politik
Peserta Pemilu tahun 1999 yang memperoleh 2% (dua persen) atau lebih dari jumlah
kursi DPR atau memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) jumlah kursi DPRD
Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar sekurang-kurangnya di ½
(setengah) jumlah provinsi dan di ½ (setengah) kabupaten/kota seluruh Indonesia,
ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu setelah Pemilu tahun 1999.
Pasal 143
(1) Partai Politik Peserta Pemilihan Umum tahun 1999
yang memperoleh kurang dari 2% (dua persen) jumlah kursi DPR atau memperoleh
kurang dari 3% (tiga persen) jumlah kursi DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota
yang tersebar sekurang-kurangnya di ½ (satu perdua) jumlah Provinsi dan di ½
(satu perdua) Kabupaten/Kota seluruh Indonesia, tidak boleh ikut dalam Pemilihan
Umum berikutnya kecuali bergabung dengan Partai Politik lain.
(2) Bergabung dengan partai politik lain
dilakukan untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan
cara :
Pasal 144
(1) Anggota KPU yang diangkat berdasarkan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 3 Tahun
1999 tentang Pemilihan Umum tetap melaksanakan tugasnya sampai masa kerjanya
berakhir pada bulan Maret tahun 2006 dengan kewajiban menyesuaikan dengan
ketentuan undang-undang ini dalam waktu 1 (satu) bulan sejak diberlakukannya
undang-undang ini.
(2) Tiga bulan sebelum berakhirnya masa jabatan KPU
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden mengusulkan keanggotaan KPU yang
baru sebagaimana diatur undang-undang ini.
Pasal 145
Dalam Pemilu
tahun 2004, anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilihnya.
Pasal 146
Calon anggota
DPD dalam Pemilu tahun 2004 tidak menjadi pengurus partai politik paling lama 3
(tiga) bulan sejak diundangkan undang-undang ini.
Pasal 147
Untuk Pemilu
tahun 2004, KPU dalam melakukan pendaftaran pemilih bekerja sama dengan
Pemerintah untuk melakukan kegiatan pendataan penduduk.
Pasal 148
Untuk Pemilu tahun 2004,
pengawas Pemilu dibentuk selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah undang-undang
ini diundangkan dan tugasnya berakhir selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah
seluruh tahapan Pemilu anggota DPR dan/atau DPD atau DPRD Provinsi atau DPRD
Kabupaten/Kota selesai.
BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal
149
Dengan
berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan
Umum (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3810)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2000 (Lembaran
Negara Tahun 2000 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3959) dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 150
Undang-undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal …..
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
MEGAWATI
SOEKARNOPUTRI
Diundangkan
di Jakarta
pada tanggal ………….
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK
kembali ke atas
PENJELASAN
ATAS
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK
NOMOR …… TAHUN 2003
TENTANG
PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT,
DEWAN PERWAKILAN
DAERAH, DAN
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
I. UMUM
1. Dasar Pemikiran
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 alinea keempat, antara lain, menyatakan bahwa “kemerdekaan
kebangsaan Indonesia disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar yang terbentuk
dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat”.
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa “kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Perubahan tersebut
bermakna bahwa kedaulatan rakyat tidak lagi dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR,
tetapi dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang Dasar.
Berdasarkan perubahan tersebut seluruh anggota DPR,
DPD, Presiden dan Wakil Presiden, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dipilih
melalui Pemilu yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil setiap lima tahun sekali. Melalui Pemilu tersebut akan lahir lembaga
perwakilan dan pemerintahan yang demokratis.
Dalam Negara Republik Indonesia yang majemuk, yang
berwawasan kebangsaan, partai politik adalah saluran utama untuk memperjuangkan
kehendak masyarakat, bangsa dan negara, sekaligus sebagai sarana kaderisasi dan
rekrutmen kepemimpinan nasional dan penyelenggara negara. Karena itu, peserta
Pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik. Selain itu,
untuk mengakomodasi aspirasi daerah, dipilihlah anggota DPD untuk memperkukuh
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang pesertanya adalah perseorangan.
Sesuai dengan amanat reformasi, penyelenggaraan
Pemilu harus dilaksanakan secara lebih berkualitas agar lebih menjamin derajat
kompetisi yang sehat, partisipatif, mempunyai derajat keterwakilan yang lebih
tinggi, dan memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas. Karena itu
diperlukan undang-undang yang baru untuk mengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun
1999 tentang Pemilihan Umum sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
4 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang
Pemilihan Umum.
2. Tujuan
Pemilu diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih
wakil rakyat dan wakil daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang
demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan
nasional sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
3. Asas
Berdasarkan Pasal
22E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemilu
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Pengertian asas Pemilu adalah :
a.
Langsung
Rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara
langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.
b.
Umum
Pada
dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyaratan sesuai dengan
undang-undang ini berhak mengikuti Pemilu. Pemilihan yang bersifat umum
mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga
negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis
kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial.
c.Bebas
Setiap warga negara yang berhak memilih
bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun. Di dalam
melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya, sehingga dapat
memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya.
d.
Rahasia
Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan
diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan apa pun. Pemilih memberikan
suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada
siapa pun suaranya diberikan.
e.
Jujur
Dalam
penyelenggaraan Pemilu, setiap penyelenggara Pemilu, aparat Pemerintah, peserta
Pemilu, pengawas Pemilu, pemantau Pemilu, pemilih, serta semua pihak yang
terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
f.
Adil
Dalam
penyelenggaraan Pemilu, setiap pemilih dan peserta Pemilu mendapat perlakuan
yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak mana pun.
4. Penyelenggara Pemilu
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 22E ayat (5), “Pemilihan umum
diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap,
dan mandiri”.
a.
Sifat “nasional”
dimaksudkan bahwa KPU sebagai penyelenggara mencakup seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
b.
Sifat “tetap”
dimaksudkan bahwa KPU sebagai lembaga menjalankan tugasnya secara
berkesinambungan, meskipun keanggotaannya dibatasi oleh masa jabatan tertentu.
c.Sifat “mandiri” dimaksudkan bahwa dalam
menyelenggarakan dan melaksanakan Pemilu, KPU bersikap mandiri dan bebas dari
pengaruh pihak mana pun, disertai dengan transparansi dan pertanggungjawaban
yang jelas sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Untuk menjamin tercapainya penyelenggaraan Pemilu
yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan
undang-undang ini, diperlukan pengawas Pemilu dengan kewenangan yang jelas
sehingga fungsi pengawasannya dapat berjalan efektif.
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan dihadiri oleh seluruh Partai
Politik Peserta Pemilu adalah, KPU harus mengundang seluruh Partai Politik
Peserta Pemilu untuk hadir dalam undian penetapan nomor urut dan dalam hal ada
partai politik yang tidak hadir, tidak mengurangi keabsahan pelaksanaan undian
penetapan nomor urut partai politik peserta Pemilu.
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan menyampaikan laporan dalam tahap
penyelenggaraan Pemilu adalah laporan tentang pelaksanaan kegiatan yang telah,
sedang, dan akan dilakukan, termasuk dalam hal-hal yang dalam keadaan tertentu
memerlukan kebijakan Presiden.
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Presiden dalam mengusulkan calon anggota KPU
sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, melakukan penjaringan dengan memperhatikan
aspirasi masyarakat.
Ayat (2)
Gubernur dalam mengusulkan calon anggota KPU Provinsi
sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, melakukan penjaringan dengan memperhatikan
aspirasi masyarakat.
Ayat (3)
Bupati/walikota dalam mengusulkan calon anggota KPU
Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, melakukan penjaringan
dengan memperhatikan aspirasi masyarakat.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud mengundurkan diri pada ayat (1) huruf b
ini adalah mengundurkan diri karena alasan kesehatan dan/atau karena terganggu
fisik/jiwanya dalam menjalankan kewajibannya sebagai anggota KPU, KPU Provinsi,
atau KPU Kabupaten/Kota.
Ayat (2)
Pemberhentian anggota KPU, KPU Provinsi, atau KPU
Kabupaten/Kota dapat dilakukan atas dasar usulan dari masyarakat, DPRD,
gubernur, atau bupati/walikota kepada DPR atau Presiden. Pemberhentian anggota
KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota disampaikan kepada KPU disertai dengan
alasan-alasan yang sesuai dengan undang-undang ini.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 21
Yang dimaksud dengan pengertian KPU pada pasal ini
adalah seluruh anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota serta pegawai
sekretariat.
Pasal 22
Ketentuan pada pasal ini berlaku juga untuk KPU
Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal
24
Cukup
jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud
dengan pemerintah dalam hal ini adalah Menteri Dalam Negeri.
Ayat (4)
Pegawai Sekretariat Jenderal sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) ini termasuk pegawai sekretariat KPU Provinsi dan
sekretariat KPU Kabupaten/Kota.
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Untuk dapat diangkat menjadi Sekretaris
KPU Provinsi, yang bersangkutan adalah pegawai negeri sipil yang memenuhi syarat
kepangkatan, memiliki pengetahuan yang memadai tentang kepartaian, sistem dan
proses penyelenggaraan pemilu, dan sistem perwakilan serta memiliki kemampuan
kepemimpinan.
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Untuk
dapat diangkat menjadi Sekretaris KPU Kabupaten/Kota, yang bersangkutan adalah
pegawai negeri sipil yang memenuhi syarat kepangkatan, memiliki pengetahuan yang
memadai tentang kepartaian, sistem dan proses penyelenggaraan Pemilu, dan sistem
perwakilan serta memiliki kemampuan kepemimpinan.
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Ayat (1)
Penyebutan desa dalam ayat ini termasuk sebutan lain
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup
jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Prosedur pengadaan surat suara beserta
perlengkapannya dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam mendistribusikan surat suara, KPU menetapkan
perusahaan ekspedisi yang akan mendistribusikan surat suara sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Dalam hal pembentukan provinsi atau kabupaten/kota
baru yang dilakukan setelah Pemilu berlangsung, tidak ada penambahan jumlah
anggota DPR dari provinsi yang bersangkutan.
Pasal 48
Ayat (1)
Yang
dimaksud dengan perimbangan yang wajar dalam ayat ini adalah :
a.
alokasi kursi
provinsi dihitung berdasarkan tingkat kepadatan penduduk dengan kuota setiap
kursi maksimal 425.000 untuk daerah yang tingkat kepadatan penduduknya tinggi
dan kuota setiap kursi minimum 325.000 untuk daerah yang tingkat kepadatan
penduduknya rendah;
b.
jumlah kursi
pada setiap provinsi dialokasikan tidak kurang dari jumlah kursi provinsi sesuai
pada Pemilu 1999;
c.
provinsi baru
hasil pemekaran setelah Pemilu 1999 memperoleh alokasi sekurang-kurangnya 3
(tiga) kursi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 49
Jumlah anggota DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
dan DPRD Provinsi Papua disesuaikan dengan ketentuan Undang-undang Nomor 18
Tahun 2000 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Dalam
Bentuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Dalam hal pembentukan provinsi baru yang
dilakukan setelah Pemilu berlangsung, tidak ada penambahan jumlah anggota DPD
dari provinsi yang bersangkutan.
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Untuk kota-kota di luar negeri yang ada perwakilan, pendaftaran dapat
dilakukan oleh petugas pendaftaran pemilih, sedangkan untuk kota-kota yang tidak
ada perwakilan, pendaftaran dilakukan oleh pemilih secara aktif dan di atur
lebih lanjut oleh KPU.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Yang dimaksud dengan dipelihara adalah
termasuk pemutakhiran data pemilih.
Pasal 56
Penukaran tanda
bukti pendaftaran dengan kartu pemilih dilakukan setelah diumumkannya daftar
pemilih tetap.
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam arti taat
menjalankan kewajiban agamanya.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Persyaratan sebagaimana tercantum dalam Pasal 60 huruf d tidak
dimaksudkan untuk membatasi hak politik warga negara penyandang cacat yang
memiliki kemampuan untuk melakukan tugasnya sebagai anggota DPR, DPD, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Huruf e
Cukup
jelas
Huruf f
Setia
yang dimaksud dalam huruf f, dibuktikan dengan surat pernyataan dari calon
anggota DPR dan DPRD yang bersangkutan dengan diketahui oleh pimpinan partai
politik sesuai dengan tingkatannya, sedangkan untuk calon anggota DPD dengan
surat pernyataan yang bersangkutan.
Huruf g
Cukup
jelas
Huruf h
Cukup
jelas
Huruf i
Cukup
jelas
Huruf j
Penentuan sehat jasmani dan rohani dibuktikan dengan hasil pemeriksaan
menyeluruh.
Huruf k
Cukup
jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan pimpinan partai politik sesuai dengan tingkatannya
adalah ketua umum dan sekretaris jenderal partai politik untuk tingkat pusat,
ketua dan sekretaris untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota, atau sebutan
pimpinan lainnya sesuai dengan kewenangan berdasarkan anggaran dasar/anggaran
rumah tangga partai politik yang bersangkutan.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Waktu 3 (tiga)
hari sebelum pemungutan suara merupakan masa tenang dan dilarang melakukan
kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai kegiatan
kampanye.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Peserta Pemilu
tidak boleh menggunakan kesempatan untuk memasang iklan yang tidak digunakan
oleh peserta Pemilu lainnya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Ayat (9)
Cukup jelas
Pasal 74
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud
dengan ketertiban umum adalah suatu keadaan yang memungkinkan penyelenggaraan
pemerintahan, pelayanan umum, dan kegiatan masyarakat dapat berlangsung
sebagaimana biasanya.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Untuk tempat pendidikan sebagaimana
dimaksud pada huruf g, dikecualikan apabila atas prakarsa/mendapat izin dari
pimpinan lembaga pendidikan dengan memberikan kesempatan yang sama kepada
peserta pemilu serta tidak mengganggu proses belajar mengajar.
Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
Cukup jelas
Pasal 77
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan menjanjikan dan/atau memberikan, inisiatifnya
berasal dari calon yang menjanjikan dan memberikan untuk mempengaruhi pemilih.
Ayat (2)
Yang dimaksud terbukti dalam ayat ini
adalah terbukti dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 78
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud
dengan dana kampanye Pemilu adalah dana yang berbentuk uang, barang, jasa,
dan/atau yang dapat disamakan atau dinilai dengan uang.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 79
Ayat (1)
Standardisasi audit ditetapkan lebih lanjut oleh KPU, dengan mengikuti
standar akuntansi Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 80
Cukup jelas
Pasal 81
Cukup jelas
Pasal 82
Cukup jelas
Pasal 83
Cukup jelas
Pasal 84
Cukup jelas
Pasal 85
Cukup jelas
Pasal 86
Cukup jelas
Pasal 87
Cukup jelas
Pasal 88
Cukup jelas
Pasal 89
Cukup jelas
Pasal 90
Cukup jelas
Pasal 91
Cukup jelas
Pasal 92
Cukup jelas
Pasal 93
Cukup jelas
Pasal 94
Cukup jelas
Pasal 95
Cukup jelas
Pasal 96
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud
surat suara tambahan adalah surat suara yang jumlahnya meliputi 2,5% (dua
setengah persen) dari jumlah pemilih sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 83 ayat
(1).
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Yang dimaksud
surat mandat dari Partai Politik Peserta Pemilu adalah surat mandat yang
ditandatangani oleh pimpinan partai politik sesuai dengan tingkatannya.
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Dalam hal sama
sekali tidak terdapat saksi peserta Pemilu di TPS, keberatan warga masyarakat
dapat disampaikan langsung kepada ketua KPPS.
Ayat (9)
Cukup jelas
Ayat (10)
Cukup jelas
Ayat (11)
Peserta Pemilu
dapat memperoleh salinan berita acara dan sertifikat penghitungan hasil suara
dari PPS selambat-lambatnya 14 (empat belas hari).
Ayat (12)
Yang dimaksud segera adalah kegiatan
yang dilakukan pada kesempatan pertama, sedangkan surat suara dan alat
kelengkapan administrasi pemungutan dan penghitungan suara diserahkan ke PPK
untuk disimpan di kabupaten/kota.
Pasal 97
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud
surat mandat dari Partai Politik Peserta Pemilu adalah surat mandat yang
ditandatangani oleh pimpinan partai politik sesuai dengan tingkatannya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Ayat (9)
Untuk mempercepat
penghitungan suara, PPLN mengirimkan berita acara, sertifikat hasil penghitungan
suara, dan rekapitulasi hasil penghitungan suara melalui faksimile/pos-el kepada
KPU.
Pasal 98
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud
surat mandat dari Partai Politik Peserta Pemilu adalah surat mandat yang
ditandatangani oleh pimpinan partai politik sesuai dengan tingkatannya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 99
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud
surat mandat dari Partai Politik Peserta Pemilu adalah surat mandat yang
ditandatangani oleh pimpinan partai politik sesuai dengan tingkatannya.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Ayat (9)
Cukup jelas
Pasal 100
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud
surat mandat dari Partai Politik Peserta Pemilu adalah surat mandat yang
ditandatangani oleh pimpinan partai politik sesuai dengan tingkatannya.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Ayat (9)
Cukup jelas
Pasal 101
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud
surat mandat dari Partai Politik Peserta Pemilu adalah surat mandat yang
ditandatangani oleh pimpinan partai politik sesuai dengan tingkatannya.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Ayat (9)
Cukup jelas
Pasal 102
Cukup jelas
Pasal 103
Cukup jelas
Pasal 104
Cukup jelas
Pasal 105
Cukup jelas
Pasal 106
Cukup jelas
Pasal 107
Cukup jelas
Pasal 108
Ayat (1)
Penetapan calon terpilih oleh rapat pleno KPU/KPU Provinsi/KPU
Kabupaten/Kota yang dimaksud pada ayat ini dilakukan berdasarkan ketentuan yang
diatur dalam undang-undang ini.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 109
Cukup jelas
Pasal 110
Cukup jelas
Pasal 111
Cukup jelas
Pasal 112
Cukup jelas
Pasal 113
Cukup jelas
Pasal 114
Cukup jelas
Pasal 115
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam hal terjadi
perbedaan data jumlah surat suara pada tingkat PPS dan tingkat PPK, maka saat
dilakukan penghitungan ulang surat suara, terlebih dahulu dilakukan penelitian
administratif.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 116
Cukup jelas
Pasal 117
Cukup jelas
Pasal 118
Cukup jelas
Pasal 119
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
KPU/KPU
Provinsi/KPU Kabupaten/Kota menetapkan penundaan pelaksanaan Pemilu setelah
melakukan koordinasi dengan Menteri Dalam Negeri, gubernur, atau
bupati/walikota.
Ayat (5)
KPU/KPU Provinsi/KPU Kabupaten/Kota menetapkan pelaksanaan Pemilu
Lanjutan atau Pemilu Susulan setelah melakukan koordinasi dengan Menteri Dalam
Negeri, gubernur, atau bupati/walikota.
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 120
Cukup jelas
Pasal 121
Cukup jelas
Pasal 122
Cukup jelas
Pasal 123
Cukup jelas
Pasal 124
Cukup jelas
Pasal 125
Cukup jelas
Pasal 126
Cukup jelas
Pasal 127
Cukup jelas
Pasal 128
Cukup jelas
Pasal 129
Cukup jelas
Pasal 130
Yang dimaksud
dengan pelanggaran administrasi adalah pelanggaran terhadap ketentuan dan
persyaratan menurut undang-undang ini.
Pasal 131
Cukup jelas
Pasal 132
Cukup jelas
Pasal 133
Cukup jelas
Pasal 134
Cukup jelas
Pasal 135
Cukup jelas
Pasal 136
Cukup jelas
Pasal 137
Cukup jelas
Pasal 138
Cukup jelas
Pasal 139
Cukup jelas
Pasal 140
Cukup jelas
Pasal 141
Cukup jelas
Pasal 142
Cukup jelas
Pasal 143
Cukup jelas
Pasal 144
Cukup jelas
Pasal 145
Cukup jelas
Pasal 146
Cukup jelas
Pasal 147
Cukup jelas
Pasal 148
Cukup jelas
Pasal 149
Cukup jelas
Pasal 150
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4277
kembali ke depan | ke halaman sebellumnya | kembali ke atas
Sumber Data : KPU, April 2003