Lanjutan UU Pemilu

BAB XIV PENGAWASAN, PENEGAKAN HUKUM, DAN PEMANTAUAN PEMILIHAN UMUM
BAB XV KETENTUAN PIDANA
BAB XVI KETENTUAN PERALIHAN
BAB XVII KETENTUAN PENUTUP
PENJELASAN

Sumber Data : KPU, April 2003

 

kembali ke depan | ke halaman sebellumnya

BAB XIV
PENGAWASAN, PENEGAKAN HUKUM,
DAN PEMANTAUAN PEMILIHAN UMUM

Bagian Pertama
Pengawasan
Paragraf Pertama
Pengawas Pemilihan Umum

Pasal 120

(1) Untuk melakukan pengawasan Pemilu, dibentuk Panitia Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/ Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan.

(2) Panitia Pengawas Pemilu dibentuk oleh KPU.

(3) Panitia Pengawas Pemilu Provinsi dibentuk oleh Panitia Pengawas Pemilu.

(4) Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota dibentuk oleh Panitia Pengawas Pemilu Provinsi.

(5) Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan dibentuk oleh Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota.

Pasal 121

(1) Panitia Pengawas Pemilu bertanggung jawab kepada KPU.

(2) Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan bertanggung jawab kepada Panitia Pengawas Pemilu yang membentuknya.

Pasal 122

(1) Pengawas Pemilu mempunyai tugas dan wewenang:

  1. mengawasi semua tahapan penyelenggaraan Pemilu;
  2. menerima laporan pelanggaran peraturan perundang-undangan Pemilu;
  3. menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan Pemilu; dan
  4. meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang.

 

(2) Uraian tugas dan hubungan kerja antara Panitia Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan diatur oleh Panitia Pengawas Pemilu.

(3) Guna menunjang pelaksanaan pengawasan Pemilu, penyelenggara Pemilu dan pihak terkait lainnya harus memberikan kemudahan kepada pengawas Pemilu untuk memperoleh informasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Paragraf Kedua
Organisasi dan Keanggotaan Pengawas Pemilihan Umum

Pasal 123

(1) Panitia Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, dan dibantu seorang wakil ketua merangkap anggota serta para anggota.

(2) Dalam melaksanakan tugasnya, Panitia Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan dibantu oleh sekretariat.

(3) Tata kerja sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh KPU.

Pasal 124

(1) Anggota Panitia Pengawas Pemilu sebanyak-banyaknya 9 (sembilan) orang, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) orang, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) orang, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang yang berasal dari unsur kepolisian negara, kejaksaan, perguruan tinggi, tokoh masyarakat, dan pers.

(2) Apabila dalam suatu kabupaten/kota atau kecamatan tidak terdapat unsur kejaksaan, perguruan tinggi, atau pers, keanggotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diisi dari unsur tokoh masyarakat.

(3) Tata cara pengisian keanggotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh KPU dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan.

Pasal 125

(1) Ketua dan wakil ketua Panitia Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan dipilih dari dan oleh anggota.

(2) Setiap anggota pengawas Pemilu memiliki hak suara yang sama.

Pasal 126

Panitia Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan dibentuk sebelum pendaftaran pemilih dimulai dan tugasnya berakhir selambat-lambatnya 1 ( satu) bulan setelah seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu anggota DPR dan/atau DPD atau DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota selesai.

Bagian Kedua
Penegakan Hukum

Paragraf Pertama
Penanganan Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa Pemilihan Umum

Pasal 127

(1) Pengawas Pemilu menerima laporan pelanggaran Pemilu pada setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu.

(2) Laporan pelanggaran Pemilu dapat diajukan oleh:

  1. warga negara yang mempunyai hak pilih;
  2. pemantau Pemilu; dan/atau
  3. peserta Pemilu.

 

(3) Laporan disampaikan secara lisan/tertulis yang berisi:

  1. nama dan alamat pelapor;
  2. waktu dan tempat kejadian perkara;
  3. nama dan alamat pelanggar;
  4. nama dan alamat saksi-saksi; dan
  5. uraian kejadian.

 

(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada pengawas Pemilu sesuai dengan wilayah kerjanya selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak terjadinya pelanggaran Pemilu.

(5) Tata cara pelaporan lebih lanjut diatur oleh Panitia Pengawas Pemilu.

Pasal 128

(1) Pengawas Pemilu mengkaji setiap laporan pelanggaran yang diterima.

(2) Pengawas Pemilu memutuskan untuk menindaklanjuti atau tidak menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah laporan diterima.

(3) Dalam hal pengawas Pemilu memerlukan keterangan tambahan dari pelapor untuk melengkapi laporannya, putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah laporan diterima.

(4) Laporan yang bersifat sengketa dan tidak mengandung unsur pidana diselesaikan oleh pengawas Pemilu.

(5) Laporan yang mengandung unsur pidana diteruskan kepada penyidik.

Pasal 129

(1) Pengawas Pemilu menyelesaikan sengketa melalui tahapan sebagai berikut:

  1. mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa untuk musyawarah dan mufakat;
  2. apabila tidak tercapai kesepakatan, pengawas Pemilu menawarkan alternatif penyelesaian kepada pihak-pihak yang bersengketa;
  3. apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf b tidak diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa, dengan mempertimbangkan keberatan yang diajukan oleh pihak yang bersengketa, pengawas Pemilu membuat keputusan final dan mengikat.

 

(2) Penyelesaian persengketaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 14 (empat belas) hari sejak pihak-pihak yang bersengketa dipertemukan.

Pasal 130

Pengawas Pemilu meneruskan temuan yang merupakan pelanggaran administrasi kepada KPU dan pelanggaran yang mengandung unsur pidana kepada penyidik.

Paragraf Kedua
Penyidikan dan Penuntutan

Pasal 131

(1) Segala ketentuan mengenai penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini berlaku Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.

(2) Penyidikan atas tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini diselesaikan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya laporan.

(3) Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah selesainya penyidikan, penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.

(4) Penuntut umum melimpahkan berkas perkara kepada pengadilan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak diterimanya berkas perkara dari penyidik.

Pasal 132

Tindakan kepolisian terhadap pejabat negara sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 1970 tentang Tata Cara Tindakan Kepolisian terhadap Anggota-anggota/Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong tidak berlaku bagi anggota/pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat yang melakukan tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini.

Paragraf Ketiga
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

Pasal 133

(1) Pemeriksaan atas tindak pidana dalam undang-undang ini dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum.

(2) Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengadilan negeri untuk pelanggaran dengan ancaman pidana kurang dari 18 (delapan belas) bulan yang merupakan tingkat pertama dan terakhir.

(3) Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengadilan negeri pada tingkat pertama dan pengadilan tinggi sebagai pengadilan tingkat banding dan terakhir, untuk pelanggaran dengan ancaman pidana 18 (delapan belas) bulan atau lebih.

(4) Penyelesaian perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) oleh pengadilan negeri paling lama 21 (dua puluh satu) hari dan oleh pengadilan tinggi paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya berkas perkara.

Pasal 134

Dalam hal terjadi perselisihan tentang hasil Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104, diperiksa dan diputuskan untuk tingkat pertama dan terakhir oleh Mahkamah Konstitusi.

Bagian Ketiga
Pemantauan Pemilihan Umum

Pasal 135

(1) Pemantauan pelaksanaan Pemilu dapat dilakukan oleh pemantau Pemilu.

(2) Pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi lembaga swadaya masyarakat, badan hukum, dan perwakilan pemerintah luar negeri.

(3) Pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dari dalam dan luar negeri harus mendaftarkan diri di KPU.

(4) Pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi syarat:

  1. bersifat independen;
  2. mempunyai sumber dana yang jelas; dan
  3. memperoleh akreditasi dari KPU.

Pasal 136

(1) Pemantau Pemilu dapat melakukan pemantauan terhadap penyelenggaraan Pemilu dan menyampaikan laporan hasil pemantauannya kepada KPU.

(2) Pemantau Pemilu wajib mematuhi segala peraturan yang ditentukan oleh KPU dan peraturan perundang-undangan.

(3) Pemantau Pemilu yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 ayat (4), dicabut haknya sebagai pemantau Pemilu.

(4) Tata cara untuk menjadi pemantau Pemilu dan tata cara pemantauan Pemilu ditetapkan oleh KPU.
 

kembali ke atas

BAB XV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 137

(1) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar pemilih, diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari atau paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya dan orang yang kehilangan hak pilihnya tersebut berkeberatan, diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).

(3) Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan surat yang menurut suatu aturan dalam undang-undang ini diperlukan untuk menjalankan suatu perbuatan dalam Pemilu, dengan maksud untuk digunakan sendiri atau orang lain sebagai seolah-olah surat sah atau tidak dipalsukan, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).

(4) Setiap orang yang dengan sengaja dan mengetahui bahwa suatu surat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tidak sah atau dipalsukan, menggunakannya, atau menyuruh orang lain menggunakannya sebagai surat sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).

(5) Setiap orang yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan atau dengan menggunakan kekuasaan yang ada padanya pada saat pendaftaran pemilih menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilu menurut undang-undang ini, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).

(6) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan seseorang atau dengan memaksa atau dengan menjanjikan suatu imbalan dengan maksud untuk memperoleh dukungan bagi pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah dalam Pemilu, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).

(7) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar atau menggunakan surat palsu seolah-olah sebagai surat yang sah tentang suatu hal yang diperlukan bagi persyaratan untuk menjadi peserta Pemilu, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).

Pasal 138

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan mengenai larangan pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan mengenai larangan pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 huruf f dan huruf g, diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).

(3) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kampanye di luar jadwal waktu yang telah ditetapkan oleh KPU untuk masing-masing peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3), diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari atau paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).

(4) Setiap orang yang dengan sengaja mengacaukan, menghalangi, atau mengggangu jalannya kampanye Pemilu, diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).

(5) Setiap orang yang memberi atau menerima dana kampanye melebihi batas yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) bulan atau paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(6) Setiap orang yang dengan sengaja menerima atau memberi dana kampanye dari atau kepada pihak-pihak yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1), diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) bulan atau paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(7) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar dalam laporan dana kampanye Pemilu sebagaimana diwajibkan oleh undang-undang ini, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

Pasal 139

(1) Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dan menghalang-halangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih peserta Pemilu tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(3) Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja mengaku dirinya sebagai orang lain, diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari atau paling lama 60 (enam puluh) hari dan/atau denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000,00 ( satu juta rupiah).

(4) Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja memberikan suaranya lebih dari satu kali di satu atau lebih TPS, diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 4 (empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp200.000,00 ( dua ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).

(5) Setiap orang yang dengan sengaja menggagalkan pemungutan suara diancam dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan atau paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(6) Seorang majikan/atasan yang tidak memberikan kesempatan kepada seorang pekerja untuk memberikan suaranya, kecuali dengan alasan bahwa pekerjaan tersebut tidak bisa ditinggalkan, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(7) Setiap orang yang dengan sengaja pada waktu pemungutan suara mendampingi seorang pemilih selain yang diatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1), diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(8) Setiap orang yang bertugas membantu pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1), dengan sengaja memberitahukan pilihan si pemilih kepada orang lain, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

Pasal 140

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan suara seorang pemilih menjadi tidak berharga atau menyebabkan peserta Pemilu tertentu mendapat tambahan suara atau perolehan suaranya berkurang, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan sengaja merusak atau menghilangkan hasil pemungutan suara yang sudah disegel, diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) bulan atau paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) atau paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).

(3) Setiap orang yang karena kelalaiannya menyebabkan rusak atau hilangnya hasil pemungutan suara yang sudah disegel, diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari atau paling lama 2 (dua) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).

(4) Setiap orang yang dengan sengaja mengubah hasil penghitungan suara dan/atau berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara, diancam dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan atau paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 141

Jika tindak pidana dilakukan dengan sengaja oleh penyelenggara atau peserta Pemilu, ancaman pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga) dari pidana yang tersebut dalam pasal yang bersangkutan.

kembali ke atas

BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 142

Partai Politik Peserta Pemilu tahun 1999 yang memperoleh 2% (dua persen) atau lebih dari jumlah kursi DPR atau memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) jumlah kursi DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar sekurang-kurangnya di ½ (setengah) jumlah provinsi dan di ½ (setengah) kabupaten/kota seluruh Indonesia, ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu setelah Pemilu tahun 1999.

Pasal 143

(1) Partai Politik Peserta Pemilihan Umum tahun 1999 yang memperoleh kurang dari 2% (dua persen) jumlah kursi DPR atau memperoleh kurang dari 3% (tiga persen) jumlah kursi DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar sekurang-kurangnya di ½ (satu perdua) jumlah Provinsi dan di ½ (satu perdua) Kabupaten/Kota seluruh Indonesia, tidak boleh ikut dalam Pemilihan Umum berikutnya kecuali bergabung dengan Partai Politik lain.

(2) Bergabung dengan partai politik lain dilakukan untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan cara :

  1. bergabung dengan partai politik peserta Pemilu tahun 1999 sebagaimana ketentuan Pasal 142;
  2. bergabung dengan partai politik lain yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142, dengan menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik yang bergabung;
  3. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 dengan menggunakan nama dan tanda gambar baru.

Pasal 144

(1) Anggota KPU yang diangkat berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum tetap melaksanakan tugasnya sampai masa kerjanya berakhir pada bulan Maret tahun 2006 dengan kewajiban menyesuaikan dengan ketentuan undang-undang ini dalam waktu 1 (satu) bulan sejak diberlakukannya undang-undang ini.

(2) Tiga bulan sebelum berakhirnya masa jabatan KPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden mengusulkan keanggotaan KPU yang baru sebagaimana diatur undang-undang ini.

Pasal 145

Dalam Pemilu tahun 2004, anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilihnya.

Pasal 146

Calon anggota DPD dalam Pemilu tahun 2004 tidak menjadi pengurus partai politik paling lama 3 (tiga) bulan sejak diundangkan undang-undang ini.

Pasal 147

Untuk Pemilu tahun 2004, KPU dalam melakukan pendaftaran pemilih bekerja sama dengan Pemerintah untuk melakukan kegiatan pendataan penduduk.

Pasal 148

Untuk Pemilu tahun 2004, pengawas Pemilu dibentuk selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah undang-undang ini diundangkan dan tugasnya berakhir selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah seluruh tahapan Pemilu anggota DPR dan/atau DPD atau DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota selesai.
 

BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 149

Dengan berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3810) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2000 (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3959) dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 150

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.



Disahkan di Jakarta

pada tanggal …..


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,



MEGAWATI SOEKARNOPUTRI


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal ………….


SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,


BAMBANG KESOWO

 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 37


kembali ke atas

 


PENJELASAN

ATAS

RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR …… TAHUN 2003

TENTANG

PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT,
DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH


I. UMUM

1.  Dasar Pemikiran


Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat, antara lain, menyatakan bahwa “kemerdekaan kebangsaan Indonesia disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat”.

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Perubahan tersebut bermakna bahwa kedaulatan rakyat tidak lagi dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, tetapi dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang Dasar.

Berdasarkan perubahan tersebut seluruh anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dipilih melalui Pemilu yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Melalui Pemilu tersebut akan lahir lembaga perwakilan dan pemerintahan yang demokratis.

Dalam Negara Republik Indonesia yang majemuk, yang berwawasan kebangsaan, partai politik adalah saluran utama untuk memperjuangkan kehendak masyarakat, bangsa dan negara, sekaligus sebagai sarana kaderisasi dan rekrutmen kepemimpinan nasional dan penyelenggara negara. Karena itu, peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik. Selain itu, untuk mengakomodasi aspirasi daerah, dipilihlah anggota DPD untuk memperkukuh Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang pesertanya adalah perseorangan.

Sesuai dengan amanat reformasi, penyelenggaraan Pemilu harus dilaksanakan secara lebih berkualitas agar lebih menjamin derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi, dan memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas. Karena itu diperlukan undang-undang yang baru untuk mengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.

2.  Tujuan

Pemilu diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3.  Asas

Berdasarkan Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Pengertian asas Pemilu adalah :

a.      Langsung
Rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.

b.      Umum
Pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyaratan sesuai dengan undang-undang ini berhak mengikuti Pemilu. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial.

c.Bebas
Setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya.

d.      Rahasia
Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan apa pun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapa pun suaranya diberikan.

e.      Jujur
Dalam penyelenggaraan Pemilu, setiap penyelenggara Pemilu, aparat Pemerintah, peserta Pemilu, pengawas Pemilu, pemantau Pemilu, pemilih, serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

f.     Adil
Dalam penyelenggaraan Pemilu, setiap pemilih dan peserta Pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak mana pun.

4.  Penyelenggara Pemilu

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 22E ayat (5), “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”.

a.      Sifat “nasional” dimaksudkan bahwa KPU sebagai penyelenggara mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

b.      Sifat “tetap” dimaksudkan bahwa KPU sebagai lembaga menjalankan tugasnya secara berkesinambungan, meskipun keanggotaannya dibatasi oleh masa jabatan tertentu.

c.Sifat “mandiri” dimaksudkan bahwa dalam menyelenggarakan dan melaksanakan Pemilu, KPU bersikap mandiri dan bebas dari pengaruh pihak mana pun, disertai dengan transparansi dan pertanggungjawaban yang jelas sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Untuk menjamin tercapainya penyelenggaraan Pemilu yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini, diperlukan pengawas Pemilu dengan kewenangan yang jelas sehingga fungsi pengawasannya dapat berjalan efektif.

II.   PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas

 

Pasal 2
Cukup jelas

 

Pasal 3
Cukup jelas

 

Pasal 4
Cukup jelas

 

Pasal 5
Cukup jelas

 

Pasal 6
Cukup jelas

 

Pasal 7
Cukup jelas

 

Pasal 8
Cukup jelas

 

Pasal 9
Cukup jelas

 

Pasal 10
Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan dihadiri oleh seluruh Partai Politik Peserta Pemilu adalah, KPU harus mengundang seluruh Partai Politik Peserta Pemilu untuk hadir dalam undian penetapan nomor urut dan dalam hal ada partai politik yang tidak hadir, tidak mengurangi keabsahan pelaksanaan undian penetapan nomor urut partai politik peserta Pemilu.

 

Pasal 11

Cukup jelas

Pasal 12

Cukup jelas

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14

Cukup jelas

Pasal 15

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan menyampaikan laporan dalam tahap penyelenggaraan Pemilu adalah laporan tentang pelaksanaan kegiatan yang telah, sedang, dan akan dilakukan, termasuk dalam hal-hal yang dalam keadaan tertentu memerlukan kebijakan Presiden.

 

Pasal 16

Cukup jelas

Pasal 17

Cukup jelas

Pasal 18

Cukup jelas

Pasal 19

Ayat (1)

Presiden dalam mengusulkan calon anggota KPU sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, melakukan penjaringan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat.

 

Ayat (2)

Gubernur dalam mengusulkan calon anggota KPU Provinsi sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, melakukan penjaringan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat.

 

Ayat (3)

Bupati/walikota dalam mengusulkan calon anggota KPU Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, melakukan penjaringan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat.

 

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)

Cukup jelas

 

      Pasal 20

            Ayat (1)

Yang dimaksud mengundurkan diri pada ayat (1) huruf b ini adalah mengundurkan diri karena alasan kesehatan dan/atau karena terganggu fisik/jiwanya dalam menjalankan kewajibannya sebagai anggota KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota.

 

      Ayat (2)

Pemberhentian anggota KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota dapat dilakukan atas dasar usulan dari masyarakat, DPRD, gubernur, atau bupati/walikota kepada DPR atau Presiden. Pemberhentian anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota disampaikan kepada KPU disertai dengan alasan-alasan yang sesuai dengan undang-undang ini.


Ayat (3)

Cukup jelas

 

      Pasal 21

Yang dimaksud dengan pengertian KPU pada pasal ini adalah seluruh anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota serta pegawai sekretariat.

 

Pasal 22

Ketentuan pada pasal ini berlaku juga untuk KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota


Pasal 23

Cukup jelas


Pasal 24

Cukup jelas

 

Pasal 25
Cukup jelas

 

Pasal 26
Cukup jelas

 

Pasal 27
Ayat (1)

Cukup jelas

 

           Ayat (2)

                  Cukup jelas

 

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan pemerintah dalam hal ini adalah Menteri Dalam Negeri.

 

Ayat (4)
Pegawai Sekretariat Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ini termasuk pegawai sekretariat KPU Provinsi dan sekretariat KPU Kabupaten/Kota.

 

kembali ke atas

 

Pasal 28

      Cukup jelas

 

Pasal 29
Cukup jelas

 

Pasal 30
Ayat (1)

            Cukup jelas

 

Ayat (2)
Cukup jelas

 

Ayat (3)
Untuk dapat diangkat menjadi Sekretaris KPU Provinsi, yang bersangkutan adalah pegawai negeri sipil yang memenuhi syarat kepangkatan, memiliki pengetahuan yang memadai tentang kepartaian, sistem dan proses penyelenggaraan pemilu, dan sistem perwakilan serta memiliki kemampuan kepemimpinan.

 

Pasal 31
Cukup jelas

 

Pasal 32
Cukup jelas

 

Pasal 33
Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Untuk dapat diangkat menjadi Sekretaris KPU Kabupaten/Kota, yang bersangkutan adalah pegawai negeri sipil yang memenuhi syarat kepangkatan, memiliki pengetahuan yang memadai tentang kepartaian, sistem dan proses penyelenggaraan Pemilu, dan sistem perwakilan serta memiliki kemampuan kepemimpinan.

 

Pasal 34

Cukup jelas

Pasal 35

Cukup jelas

Pasal 36

Cukup jelas

Pasal 37

Ayat (1)

Penyebutan desa dalam ayat ini termasuk sebutan lain sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

 

Ayat (2)
Cukup jelas

 

Ayat (3)
Cukup jelas

 

Ayat (4)
Cukup jelas

 

Pasal 38

Cukup jelas

Pasal 39

Cukup jelas

 

Pasal 40

Cukup jelas

Pasal 41

Cukup jelas

Pasal 42

Cukup jelas

Pasal 43

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Prosedur pengadaan surat suara beserta perlengkapannya dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 44

Cukup jelas

Pasal 45

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Dalam mendistribusikan surat suara, KPU menetapkan perusahaan ekspedisi yang akan mendistribusikan surat suara sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

 

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 46

Cukup jelas

Pasal 47

Dalam hal pembentukan provinsi atau kabupaten/kota baru yang dilakukan setelah Pemilu berlangsung, tidak ada penambahan jumlah anggota DPR dari provinsi yang bersangkutan.

 

Pasal 48

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan perimbangan yang wajar dalam ayat ini adalah :

a.      alokasi kursi provinsi dihitung berdasarkan tingkat kepadatan penduduk dengan kuota setiap kursi maksimal 425.000 untuk daerah yang tingkat kepadatan penduduknya tinggi dan kuota setiap kursi minimum 325.000 untuk daerah yang tingkat kepadatan penduduknya rendah;

b.      jumlah kursi pada setiap provinsi dialokasikan tidak kurang dari jumlah kursi provinsi sesuai pada Pemilu 1999;

c.      provinsi baru hasil pemekaran setelah Pemilu 1999 memperoleh alokasi sekurang-kurangnya 3 (tiga) kursi.
Ayat (2)
Cukup jelas

 

Pasal 49

Jumlah anggota DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan DPRD Provinsi Papua disesuaikan dengan ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Dalam Bentuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

 

Pasal 50
Cukup jelas

 

Pasal 51
Cukup jelas

 

Pasal 52
Dalam hal pembentukan provinsi baru yang dilakukan setelah Pemilu berlangsung, tidak ada penambahan jumlah anggota DPD dari provinsi yang bersangkutan.

 

Pasal 53

      Ayat (1)

            Cukup jelas

 

      Ayat (2)

            Untuk kota-kota di luar negeri yang ada perwakilan, pendaftaran dapat dilakukan oleh petugas pendaftaran pemilih, sedangkan untuk kota-kota yang tidak ada perwakilan, pendaftaran dilakukan oleh pemilih secara aktif dan di atur lebih lanjut oleh KPU.

 

      Ayat (3)

            Cukup jelas

Ayat (4)

            Cukup jelas

 

Pasal 54
Cukup jelas

 

Pasal 55
Yang dimaksud dengan dipelihara adalah termasuk pemutakhiran data pemilih.

 

kembali ke atas

 

Pasal 56

      Penukaran tanda bukti pendaftaran dengan kartu pemilih dilakukan setelah diumumkannya daftar pemilih tetap.

 

Pasal 57

      Cukup jelas

Pasal 58

      Cukup jelas

Pasal 59

      Cukup jelas

Pasal 60

      Huruf a

            Cukup jelas

 

      Huruf b

            Yang dimaksud dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam arti taat menjalankan kewajiban agamanya.

 

      Huruf c

            Cukup jelas

 

      Huruf d

            Persyaratan sebagaimana tercantum dalam Pasal 60 huruf d tidak dimaksudkan untuk membatasi hak politik warga negara penyandang cacat yang memiliki kemampuan untuk melakukan tugasnya sebagai anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

 

      Huruf e
Cukup jelas

 

      Huruf f
Setia yang dimaksud dalam huruf f, dibuktikan dengan surat pernyataan dari calon anggota DPR dan DPRD yang bersangkutan dengan diketahui oleh pimpinan partai politik sesuai dengan tingkatannya, sedangkan untuk calon anggota DPD dengan surat pernyataan yang bersangkutan.

 

      Huruf g
Cukup jelas

     

      Huruf h
Cukup jelas

 

      Huruf i
Cukup jelas

 

      Huruf j
Penentuan sehat jasmani dan rohani dibuktikan dengan hasil pemeriksaan menyeluruh.

 

      Huruf k
Cukup jelas

 

Pasal 61

      Cukup jelas

Pasal 62

      Cukup jelas

Pasal 63

      Cukup jelas

Pasal 64

      Cukup jelas

Pasal 65

      Cukup jelas

Pasal 66

      Cukup jelas

Pasal 67

      Cukup jelas

Pasal 68

      Ayat (1)

            Huruf a

                  Yang dimaksud dengan pimpinan partai politik sesuai dengan tingkatannya adalah ketua umum dan sekretaris jenderal partai politik untuk tingkat pusat, ketua dan sekretaris untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota, atau sebutan pimpinan lainnya sesuai dengan kewenangan berdasarkan anggaran dasar/anggaran rumah tangga partai politik yang bersangkutan.

 

            Huruf b

            Cukup jelas

Huruf c

            Cukup jelas

Huruf d

            Cukup jelas

      Huruf e

            Cukup jelas

Huruf f

            Cukup jelas

 

Ayat (2)
Cukup jelas

 

Ayat (3)
Cukup jelas

 

Ayat (4)
Cukup jelas

 

Ayat (5)
Cukup jelas

 

Ayat (6)
Cukup jelas

 

Ayat (7)
Cukup jelas

 

Ayat (8)
Cukup jelas

 

Pasal 69

      Cukup jelas

Pasal 70

      Cukup jelas

Pasal 71

      Ayat (1)

            Cukup jelas

 

      Ayat (2)

      Cukup jelas

Ayat (3)

      Waktu 3 (tiga) hari sebelum pemungutan suara merupakan masa tenang dan dilarang melakukan kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai kegiatan kampanye.

 

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Cukup jelas

 

Pasal 72

      Cukup jelas

Pasal 73

      Ayat (1)

            Cukup jelas

 

      Ayat (2)

      Peserta Pemilu tidak boleh menggunakan kesempatan untuk memasang iklan yang tidak digunakan oleh peserta Pemilu lainnya.

Ayat (3)

      Cukup jelas

Ayat (4)

      Cukup jelas

Ayat (5)

      Cukup jelas

Ayat (6)

      Cukup jelas

Ayat (7)

      Cukup jelas

Ayat (8)

      Cukup jelas

Ayat (9)

      Cukup jelas

 

Pasal 74

      Huruf a

      Cukup jelas

Huruf b

      Cukup jelas

Huruf c

      Cukup jelas

Huruf d

      Yang dimaksud dengan ketertiban umum adalah suatu keadaan yang memungkinkan penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan umum, dan kegiatan masyarakat dapat berlangsung sebagaimana biasanya.

 

Huruf e
Cukup jelas

 

Huruf f
Cukup jelas

 

Huruf g
Untuk tempat pendidikan sebagaimana dimaksud pada huruf g, dikecualikan apabila atas prakarsa/mendapat izin dari pimpinan lembaga pendidikan dengan memberikan kesempatan yang sama kepada peserta pemilu serta tidak mengganggu proses belajar mengajar.

 

Pasal 75

      Cukup jelas

Pasal 76

      Cukup jelas

Pasal 77

      Ayat (1)

            Yang dimaksud dengan menjanjikan dan/atau memberikan, inisiatifnya berasal dari calon yang menjanjikan dan memberikan untuk mempengaruhi pemilih.

 

Ayat (2)
Yang dimaksud terbukti dalam ayat ini adalah terbukti dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

 

Ayat (3)
Cukup jelas

 

Pasal 78

      Ayat (1)

      Cukup jelas

Ayat (2)          

      Yang dimaksud dengan dana kampanye Pemilu adalah dana yang berbentuk uang, barang, jasa, dan/atau yang dapat disamakan atau dinilai dengan uang.

 

Ayat (3)
Cukup jelas


Ayat (4)

      Cukup jelas

Ayat (5)

      Cukup jelas

 

Pasal 79

      Ayat (1)

            Standardisasi audit ditetapkan lebih lanjut oleh KPU, dengan mengikuti standar akuntansi Indonesia.

 

Ayat (2)

      Cukup jelas.

Ayat (3)

      Cukup jelas

 

Pasal 80

      Cukup jelas

Pasal 81

      Cukup jelas

Pasal 82

      Cukup jelas

Pasal 83

      Cukup jelas

Pasal 84

      Cukup jelas

Pasal 85

      Cukup jelas

Pasal 86

      Cukup jelas

Pasal 87

      Cukup jelas

Pasal 88

      Cukup jelas

Pasal 89

      Cukup jelas

Pasal 90

      Cukup jelas

Pasal 91

      Cukup jelas

Pasal 92

      Cukup jelas

 

kembali ke atas

Pasal 93

      Cukup jelas

Pasal 94

      Cukup jelas

Pasal 95

      Cukup jelas

Pasal 96

      Ayat (1)

            Cukup jelas

 

      Ayat (2)

      Cukup jelas

Ayat (3)

      Yang dimaksud surat suara tambahan adalah surat suara yang jumlahnya meliputi 2,5% (dua setengah persen) dari jumlah pemilih sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 83 ayat (1).

 

Ayat (4)
Cukup jelas

 

Ayat (5)

      Cukup jelas

Ayat (6)

      Yang dimaksud surat mandat dari Partai Politik Peserta Pemilu adalah surat mandat yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik sesuai dengan tingkatannya.

 

Ayat (7)

Cukup jelas

Ayat (8)

      Dalam hal sama sekali tidak terdapat saksi peserta Pemilu di TPS, keberatan warga masyarakat dapat disampaikan langsung kepada ketua KPPS.

 

Ayat (9)

      Cukup jelas

Ayat (10)

      Cukup jelas

Ayat (11)

      Peserta Pemilu dapat memperoleh salinan berita acara dan sertifikat penghitungan hasil suara dari PPS selambat-lambatnya 14 (empat belas hari).

 

Ayat (12)
Yang dimaksud segera adalah kegiatan yang dilakukan pada kesempatan pertama, sedangkan surat suara dan alat kelengkapan administrasi pemungutan dan penghitungan suara diserahkan ke PPK untuk disimpan di kabupaten/kota.

 

Pasal 97

      Ayat (1)

            Cukup jelas

 

Ayat (2)

      Yang dimaksud surat mandat dari Partai Politik Peserta Pemilu adalah surat mandat yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik sesuai dengan tingkatannya.

 

Ayat (3)
Cukup jelas

 

Ayat (4)

      Cukup jelas

Ayat (5)

      Cukup jelas

Ayat (6)

      Cukup jelas

Ayat (7)

      Cukup jelas

Ayat (8)

      Cukup jelas

Ayat (9)

      Untuk mempercepat penghitungan suara, PPLN mengirimkan berita acara, sertifikat hasil penghitungan suara, dan rekapitulasi hasil penghitungan suara melalui faksimile/pos-el kepada KPU.

 

Pasal 98

      Ayat (1)

            Cukup jelas

 

Ayat (2)

      Yang dimaksud surat mandat dari Partai Politik Peserta Pemilu adalah surat mandat yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik sesuai dengan tingkatannya.

 

Ayat (3)
Cukup jelas

 

Ayat (4)

      Cukup jelas

Ayat (5)

      Cukup jelas

Ayat (6)

      Cukup jelas

Ayat (7)

      Cukup jelas

 

Pasal 99

      Ayat (1)

            Cukup jelas

 

Ayat (2)

      Cukup jelas

Ayat (3)

      Yang dimaksud surat mandat dari Partai Politik Peserta Pemilu adalah surat mandat yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik sesuai dengan tingkatannya.

 

Ayat (4)

      Cukup jelas

Ayat (5)

      Cukup jelas

Ayat (6)

      Cukup jelas

Ayat (7)

      Cukup jelas

Ayat (8)

      Cukup jelas

Ayat (9)

      Cukup jelas

 

Pasal 100

      Ayat (1)

            Cukup jelas

 

Ayat (2)

      Cukup jelas

Ayat (3)

      Yang dimaksud surat mandat dari Partai Politik Peserta Pemilu adalah surat mandat yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik sesuai dengan tingkatannya.

 

Ayat (4)

      Cukup jelas

Ayat (5)

      Cukup jelas

Ayat (6)

      Cukup jelas

Ayat (7)

      Cukup jelas

Ayat (8)

      Cukup jelas

Ayat (9)

      Cukup jelas

 

Pasal 101

      Ayat (1)

      Cukup jelas

Ayat (2)

      Cukup jelas

Ayat (3)

      Cukup jelas

Ayat (4)

      Yang dimaksud surat mandat dari Partai Politik Peserta Pemilu adalah surat mandat yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik sesuai dengan tingkatannya.

 

Ayat (5)
Cukup jelas

 

Ayat (6)

      Cukup jelas

Ayat (7)

      Cukup jelas

Ayat (8)

      Cukup jelas

Ayat (9)

      Cukup jelas

 

Pasal 102

      Cukup jelas

Pasal 103

      Cukup jelas

Pasal 104

      Cukup jelas

Pasal 105

      Cukup jelas

Pasal 106

      Cukup jelas

Pasal 107

      Cukup jelas

Pasal 108

      Ayat (1)

            Penetapan calon terpilih oleh rapat pleno KPU/KPU Provinsi/KPU Kabupaten/Kota yang dimaksud pada ayat ini dilakukan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.

 

      Ayat (2)

            Cukup jelas

 

Pasal 109

      Cukup jelas

Pasal 110

      Cukup jelas

Pasal 111

      Cukup jelas

Pasal 112

      Cukup jelas

Pasal 113

      Cukup jelas
 

kembali ke atas


Pasal 114

      Cukup jelas

Pasal 115

      Ayat (1)

            Cukup jelas

 

      Ayat (2)

      Cukup jelas

Ayat (3)

      Dalam hal terjadi perbedaan data jumlah surat suara pada tingkat PPS dan tingkat PPK, maka saat dilakukan penghitungan ulang surat suara, terlebih dahulu dilakukan penelitian administratif.

 

Ayat (4)
Cukup jelas

 

Pasal 116

      Cukup jelas

Pasal 117

      Cukup jelas

Pasal 118

      Cukup jelas

Pasal 119

      Ayat (1)

      Cukup jelas

Ayat (2)

      Cukup jelas

Ayat (3)

      Cukup jelas

Ayat (4)

      KPU/KPU Provinsi/KPU Kabupaten/Kota menetapkan penundaan pelaksanaan Pemilu setelah melakukan koordinasi dengan Menteri Dalam Negeri, gubernur, atau bupati/walikota.

 

            Ayat (5)

                  KPU/KPU Provinsi/KPU Kabupaten/Kota menetapkan pelaksanaan Pemilu Lanjutan atau Pemilu Susulan setelah melakukan koordinasi dengan Menteri Dalam Negeri, gubernur, atau bupati/walikota.

 

            Ayat (6)

                  Cukup jelas

 

Pasal 120

      Cukup jelas

Pasal 121

      Cukup jelas

Pasal 122

      Cukup jelas

Pasal 123

      Cukup jelas

Pasal 124

      Cukup jelas

Pasal 125

      Cukup jelas

Pasal 126

      Cukup jelas

Pasal 127

      Cukup jelas

Pasal 128

      Cukup jelas

Pasal 129

      Cukup jelas

Pasal 130

      Yang dimaksud dengan pelanggaran administrasi adalah pelanggaran terhadap ketentuan dan persyaratan menurut undang-undang ini.

Pasal 131

      Cukup jelas

Pasal 132

      Cukup jelas

Pasal 133

      Cukup jelas

Pasal 134

      Cukup jelas

Pasal 135

      Cukup jelas

Pasal 136

      Cukup jelas

Pasal 137

      Cukup jelas

Pasal 138

      Cukup jelas

Pasal 139

      Cukup jelas

Pasal 140

      Cukup jelas

Pasal 141

      Cukup jelas

Pasal 142

      Cukup jelas

Pasal 143

      Cukup jelas

Pasal 144

      Cukup jelas

Pasal 145

      Cukup jelas

Pasal 146

      Cukup jelas

Pasal 147

      Cukup jelas

Pasal 148

      Cukup jelas

Pasal 149

      Cukup jelas

Pasal 150

      Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4277

 

kembali ke depan | ke halaman sebellumnya | kembali ke atas

Sumber Data : KPU, April 2003