Tanggal 21 Mei tahun ini, kita telah memasuki lima tahun
gerakan reformasi. Sebagai salah seorang yang ikut andil
dalam gerakan reformasi saya ingin melakukan sedikit
refleksi.
Reformasi total memang ditandai dengan lengsernya Pak
Harto pada 21 Mei 1998. Namun jangan lupa, proses awal
untuk meyakinkan Pak Harto itu harus lengser, bukan
seketika. Memerlukan waktu yang relatif agak panjang.
Dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah di Surabaya tahun 1993,
saya dengan Pak Syafii Maarif dan bapak-bapak yang lain
memberanikan diri untuk menguak isu yang sangat penting.
Menentukan buat masa depan bangsa, yaitu pentingnya
suksesi kepemimpinan nasional.
Waktu itu saya digugat banyak orang. Bagaimana mungkin ada
tokoh Muhammadiah, Pak Harto yang baru beberapa bulan
diangkat kembali menjadi persiden, sudah diminta suksesi.
Saya masih ingat, minggu-minggu setelah saya ngomong
suksesi itu, teman-teman dekat saya pada tercerai berai
meninggalkan saya. Semuanya takut. Hanya tinggal 1-2 orang
yang masih setia. Umumnya takut kemudian tidak mau rapat
dengan saya lagi, tidak mau berkunjung ke rumah lagi. Tapi
alhamdulillah, beberapa bulan setelah itu
teman-teman akrab kembali dan isu suksesi bergulir makin
lama makin cepat.
Saya pidato dari kampus ke kampus, dari kampung ke
kampung, dari masjid ke masjid untuk menawarkan gagasan
seperti ini sebagai prasyarat bagi terbukanya pintu
gerbang reformasi total untuk memperbaiki bangsa yang
besar ini.
Untuk mempersingkat cerita, kita mengetahui bahwa
akhirnya, seperti saya kuliah subuh-kan di PP
Muhammadiyah, menjelang 21 Mei, saya mengatakan, memang
Pak Harto akhirnya harus mundur. Dia melihat ke depan,
mahasiswa sudah meminta untuk turun. Dia melihat ke
belakang, rakyat juga sudah mengatakan dia harus turun.
Dia menoleh ke kanan, pendapat publik opini dunia,
termasuk waktu itu Ponald Reagen, juga minta Pak Harto
supaya turun. Kemudian dia menoleh ke kiri, media massa
semua juga sudah minta dia turun. Menengadah ke langit,
kira-kira Allah juga akan memberikan firasat sebaiknya Pak
Harto memang turun. Menghadap ke bawah, bumi juga
mengatakan, dalam alam kubur, alam barzakh itu, Pak Harto
sebaiknya memang turun. Jangan sampai memaksa diri untuk
terus menerus di tangga kekuasaan.
Kemudian kita tahu apa yang terjadi. Kurang lebih Pkl.
09.00 beliau lengser, Pak Habibie menjadi presiden,
kemudian bergulirlah roda reformasi itu.
Kemudian kita punya enam agenda reformasi. Sekarang ini
menurut saya, marilah kita bersyukur bahwa reformasi itu
sesungguhnya sudah memanen beberapa hasil penting.
Saya sebutkan yang pertama, agenda reformasi itu adalah
amandemen UUD 1945 berhasil mulus.
Dan lihatlah agenda kedua sudah selesai dengan mulus,
yaitu penghapusan dwifungsi ABRI. Ini kan juga tidak
menimbulkan gempa bumi politik. Per 2004 tahun depan ini,
tidak ada lagi kursi satu pun di DPR, Pusat, Tk. I, Tk II,
di daerah itu yang diberikan kepada TNI karena semua harus
dipilih oleh rakyat secara langsung.
Dan yang ketiga, jangan lupa otonomi daerah juga buah
reformasi yang luar biasa. Dulu Gubernur, Bupati, Walikota
sumpek ketika masih sentralisasi. Mereka tidak bisa
apa-apa karena semua dicengkeram oleh pusat. Tapi digugat
oleh reformasi. Sekarang Gubernur, Bupati, Walikota dapat
membangun daerahnya dengan memanfaatkan sumber daya alam
yang mereka panggul di tempat masing-masing.
Jangan lupa bahwa reformasi juga telah membuka koridor
atau gerbang politik yang sudah hampir tanpa batas.
Lihatlah sekarang kebebasan pers yang betul-betul kita
nikmati. Kebebasan membangun partai. Saking bebasnya ada
200 lebih partai sekarang ini. Tapi tak apa-apa, biar
saja. Tidak ada juga sekarang tahanan politik, ekstrem
kiri, ekstrem kanan, ekstrem tengah, sudah tidak ada.
Kemudian lihatlah pula sekarang ini, kebebasan politik
betul-betul telah membuka koridor sehingga mitos politik
yang penting-penting sudah luruh, runtuh, sudah tidak ada
lagi. Sekarang semua orang, asal qualified, asal
mampu, bisa menjadi apa saja di negeri yang demokratis
ini.
Pak Habibie itu putra Gorontalo, non Jawa. Sepertinya
dalam ukuran dulu, itu aneh menjadi presiden. Buktinya
dengan reformasi beliau bisa. Kiai Haji Abdurrahman Wahid
itu juga dinalar sulit menjadi presiden, tanpa reformasi.
Dengan reformasi, dengan poros tengah bersatu, kita
lambungkan jadi presiden. Padahal kata teman-teman dulu,
ikhwan dari NU itu umumnya hanya ingin memegang Departemen
Agama. Jadi presiden itu di luar jangkauan teman-teman NU.
Tapi dengan reformasi, buktinya bisa walaupun tidak
selesai karena situasi.
Kemudian Ibu Megawati, tokoh perempuan, itu dulu tidak
terbayangkan, tanpa reformasi. Megawati sekarang menjadi
presiden.
Hal ini menunjukkan bahwa sesunguhnya reformasi itu sudah
berjalan jauh. Sudah banyak hasilnya. Karena itu kalau ada
yang mengatakan, apa itu reformasi? Jangan-jangan keliru,
itu repot nasi. Saya kira orang-orang itu, pertama selain
tidak begitu normal, tidak pandai bersyukur kepada Allah
SWT. Sudah jauh yang kita petik.
Tapi, memang masih ada beberapa agenda yang jadi pekerjaan
rumah kita. Yaitu penegakan supremasi hukum dan membangun
pemerintah yang bersih dari korupsi. Dua ini kadang-kadang
mengerikan. Dalam arti, bukannya makin bagus tapi
kadang-kadang nampak malah makin parah.
Lihat supremasi hukum. Di Pasar Senen ada tulisan
“Barangsiapa menyeberang secara melanggar aturan, bisa
dikenakan hukuman kurungan 6 bulan”. Cuma salah
menyeberang bisa diganjar 6 bulan penjara. Tapi menjarah
ratusan triliun rupiah lewat dana BLBI, itu malah
dilepasbebaskan. Jadi memang supremasi hukum ini
betul-betul luar biasa. Sangat jauhnya dari nalar kita
sehingga ini adalah agenda utama kita di masa mendatang.
Kemudian yang kedua, masalah korupsi. Korupsi ini saya
kira makin menggila. Juga money politics. Mungkin
pada zaman Pak Harto itu cuma sedikit saja. Sekarang ini
luar biasa. Ini juga masalah yang harus kita atasi.
Sehingga andaikata Allah mengizinkan kita memimpin
bersama-sama negeri ini untuk melanjutkan roda reformasi,
memang agenda pokok dua itu yang akan kita jadikan andalan
prioritas pekerjaan kita di masa mendatang. Tentu ini
dengan dukungan rakyat Indonesia.
Dan yang terakhir, memang kalau kita renungkan, mengapa
reformasi ini tersendat-sendat, terutama dua masalah tadi
malah makin tak keru-keruan, ini memang masalah mental.
Jadi kita perlukan rekonstruksi mental.
Kalau dulu para koruptornya yang ugal-ugalan itu memakai
baju warna tertentu, sekarang orangnya lain, warna bajunya
lain, tapi lebih ugal-ugalan lagi. Ini memang seperti kata
pepatah, ”The game is still the same, only the player
changed”. Jadi permainan korupsi tetap sama bahkan
mungkin lebih dahsyat lagi. Hanya pemainnya itu yang
berganti.
Sekarang, sebagai penuntas kata, mari kita kaum beriman,
kita bangsa Indonesia, betul-betul tetap harus bersatu,
berpadu, melancarkan langkah-langkah ke depan untuk
menyelesaikan agenda reformasi yang belum tuntas tadi.