m-amienrais.com | Kegiatan | Komentar | Forum Diskusi | Chatting PAN | Caleg | Depan

 

Forum Editorial

Media Indonesia Online
 

Edisi: Kamis, 29 Mei 2003

Presiden dan Undang-undang yang Cacat


 

MEMBUAT undang-undang adalah menciptakan hukum. Sekali hukum dibuat, ia mengikat semua pihak. Mengikat siapa pun, termasuk orang yang sejak awal menentang rancangan undang-undang itu.

Karena undang-undang mengikat semua pihak, pembuat undang-undang diasumsikan merupakan manusia yang memiliki kemuliaan hati malaikat. Yang paham benar bahwa undang-undang adalah aturan main, antara lain, bagi tegaknya keadilan.

Adapun keadilan bukan urusan siapa yang berkuasa sekarang. Ia bukan pula urusan kepentingan setahun atau dua tahun, apalagi kepentingan sehari dua hari. Hukum dibuat untuk keadilan yang selama mungkin, bahkan seabadi yang mungkin diciptakan manusia yang berhati mulia.

Di negeri ini undang-undang itu dibuat pemerintah bersama DPR. Umumnya, rancangannya berasal dari pemerintah karena memang pemerintah yang memiliki sumber daya yang lebih kuat daripada DPR. Sekaligus di sinilah terbuka lebar peluang bagi pemerintah untuk memasukkan semua kepentingannya.

Jadi, sekalipun akhirnya kekuasaan membuat undang-undang itu berada di tangan DPR, dalam kenyataan yang disahkan adalah terutama kepentingan pemerintah. Maka, di titik ini pun orang sudah harus mewaspadai bahwa sebuah undang-undang justru berpotensi besar mengandung ketidakadilan. Sebuah paradoks, yaitu hukum demi keadilan, tetapi justru dalam hukum itu sendiri telah melekat ketidakadilan.

Undang-undang itu semakin miring jika pemerintah dan sayap partainya di DPR bersekongkol. Dan, menjadi lebih miring lagi jika di dalam tubuh pemerintah bersemi pula kepentingan-kepentingan sektoral. Maka, lahirlah undang-undang yang cacatnya optimal, yang sarat dengan ketidakdilan, yang condong dan doyong sesuai dengan tiap-tiap kepentingan sektoral.

Semua itu bukan terjadi di awang-awang. Itu terjadi di sini, di negeri ini. Tidak heran jika ada undang-undang yang begitu disahkan langsung mendapat perlawanan terbuka yang sangat keras. Lalu, pelaksanaannya ditunda.

Yang mengagetkan ialah terjadinya penolakan diam-diam justru oleh presiden. Para menteri datang membawa RUU ke DPR, terlibat dalam pembahasan, lalu akhirnya disahkan. Tetapi, apa yang terjadi? Presiden Megawati Soekarnoputri tidak mau menandatangani undang-undang itu. Tidak mau, karena ternyata tidak ada koordinasi antara menteri terkait dan Presiden Megawati. Fakta ini diungkapkan sendiri oleh Sekretaris Negara Bambang Kesowo dalam rapat kerja Komisi I dengan Sekretariat Negara di Gedung MPR/DPR, kemarin.

"Persoalan UU bukan hanya persoalan hukum, politik, dan tata negara saja. Tetapi, juga menyangkut tanggung jawab seorang presiden yang disumpah untuk melaksanakan setiap UU. Yang dipertaruhkan adalah moral. Mbok ya, para menteri itu bila ingin memutuskan persoalan yang substansial dan krusial bicara dulu dengan Presiden," kata Bambang Kesowo.

Yang terjadi ialah sejumlah menteri jalan dengan agendanya sendiri dan mengutamakan ego sektoral departemennya masing-masing. Berjalan tanpa konsultasi dengan presiden, tanpa mengindahkan dampak dari sebuah keputusan yang telah disetujuinya.

Contohnya, antara lain, UU Kepulauan Riau, UU Keuangan Negara, dan UU Penyiaran. Dalam UU Keuangan Negara, misalnya, terdapat pasal yang memberikan wewenang kepada Menteri Keuangan untuk menyusun anggaran pembangunan. Padahal, selama ini penyusunan anggaran pembangunan itu menjadi wewenang Bappenas. Akibat pasal tersebut, Bappenas langsung beraksi karena ditafsirkan akan dibubarkan dan peranannya diambil alih Departemen Keuangan.

Demikianlah, untuk sebuah urusan yang sangat serius, yaitu membuat undang-undang, para menteri berjalan sendirian. Dan, sang presiden mendiamkannya saja, menunggu inisiatif konsultasi datang dari sang menteri. Tapi, konsultasi itu tidak kunjung datang dan lahirlah undang-undang yang tidak akan pernah ditandatangani presiden.

Siapa yang salah? Menterinya salah karena semau gue. Tetapi, presiden pun salah karena sebagai pemimpin tidak mengambil tindakan. Yaitu, tidak 'menjewer' sang menteri, apalagi memecatnya. DPR juga salah karena meloloskan undang-undang yang miring.

Apa pun penyebabnya, undang-undang yang cacat telah lahir. Padahal, hukum yang cacat sekalipun tetaplah hukum namanya, yang harus dipatuhi. Dalam cacat hukum seperti itulah anak bangsa ini sekarang harus hidup dengan kepatuhan hukum. Sungguh, sebuah kebodohan yang mengerikan.

 

m-amienrais.com | Kegiatan | Komentar | Forum Diskusi | Chatting PAN | Caleg | Depan