Tidak berlebihan kiranya bila saya katakana bahwa perjalanan
bangsa kita ke depan masih merupakan jalan yang terjal dan
mendaki. Tantangan kita tetap cukup berat, sekalipun proses
reformasi total sudah berjalan sekitar lima tahun. Kita masih saja
berada dalam krisis multidimensi, walaupun beberapa hasil
reformasi itu sesungguhnya untuk sebagian sudah dapat kita
rasakan.
Hasil reformasi itu harus kita pertahankan agar tidak mengalami
setback atau kemunduran. Hasil itu antara lain amandemen UUD
1945 yang berjalan melalui empat tahapan dengan cukup sukses.
Dwifungsi ABRI yang dulu dianggap sebagai kelainan demokrasi juga
telah ditata kembali, sehingga seluruh anggota DPRD, DPR, dan DPD
dipilih oleh rakyat pada pemilu tahun 2004 nanti.
Demikian juga sejak 1 Januari 2001 kita telah menerapkan otonomi
daerah dengan cara melakukan desentralisasi kekuasaan dan
kewenangan dari pusat ke provinsi, kota, dan kabupaten agar
tercapai keadilan sosial dan ekonomi yang lebih baik buat seluruh
rakyat Indonesia. Bahwa ada ekses di sana sini dalam pelaksanaan
otonomi daerah kiranya dapat dimaklumi, karena otonomi daerah
merupakan praktik kenegaraan yang sama sekali baru buat kita.
Yang juga cukup jelas kita rasakan adalah berbagai kebebasan
demokrasi yang sudah sama-sama kita nikmati. Lihatlah bagaimana
kebebasan pers kita yang barangkali paling maju di seluruh Asia.
Juga kebebasan berunjuk rasa meski terkadang terus kelewatan.
Kebebasan berserikat dan berkumpul yang maksimal juga telah
melahirkan lebih dari 200 parpol. Tahapan politik dari apa yang
dulu dinamakan sebagai ekstrem kiri, ekstrem kanan, dan lain-lain,
juga sudah tak ada lagi. Hal-hal di atas merupakan sebagian hasil
reformasi yang perlu kita syukuri bersama.
Beberapa agenda reformasi yang belum tercapai, bahkan seperti
makin jauh, adalah penegakan pemerintahan yang bersih dan
penegakan supremasi hukum. Korupsi tetap saja merajalela dan hukum
seringkali hanya ada dalam teori dan pidato, tidak ada dalam dunia
nyata.
Di samping itu kenapa pemulihan ekonomi tetap tidak kunjung tiba,
pengangguran juga sangat meluas, harga-harga barang semakin sulit
dijangkau oleh sebagian rakyat dan rasa aman dirasakan kurang,
maka buat kebanyakan masyarakat, reformasi dianggap telah gagal.
Saya yakin reformasi tidak gagal. Tetapi ia berjalan tersendat dan
terantuk-antuk.
Oleh karena itulah lewat Rakernasnya yang ketiga, 9-11 Juni 2003
di Makassar, PAN meneguhkan kembali komitmennya untuk harus
berjuang membawa reformasi ke pantai tujuan.
Marilah kita mencoba memikirkan beberapa agenda penting agar
tujuan reformasi, yakni masyarakat Indonesia yang berketuhanan,
berprikemanusiaan, bersatu-padu, berdemokrasi, dan berkeadilan
sosial, dapat menjadi kenyataan. Tentu agenda penting untuk
mencapai tujuan reformasi itu cukup banyak namun di antaranya
dapat kita sebutkan di bawah ini:
Pertama, kita pertahankan dan perkuat NKRI sebagai pilihan akhir
bangsa Indonesia. Satu-satunya pasal dalam UUD 1945 yang merupakan
non-amandable article atau pasal yang tidak boleh diubah
adalah pasal 1 ayat [1] berdasarkan pasal 37 ayat [5]. Pasal 1
ayat [1] itu berbunyi: Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan
yang berbentuk republik. Di tengah gelombang globalisasi dan
politik hegemoni negara-negara besar, kita harus memiliki TNI yang
tangguh dan Polri yang kuat. Untuk itu, kedua tulang punggung
pertahanan nasional dan keamanan nasional itu memerlukan perangkat
keras, perangkat lunak, dan peralatan modern. Di samping itu,
kesejahteraan para personel kedua tulang punggung bangsa itu juga
harus memadai. PAN berpendapat APBN harus mengatur dengan jelas
dan tegas budget untuk kedua lembaga strategis itu agar keduanya
mampu mengawal kedaulatan dan stabilitas keamanan nasional dari
rongrongan elemen internal dan eksternal.
Kedua, kebijakan ekonomi nasional sejak Indonesia merdeka pada
hakikatnya cenderung merugikan para petani sebagai komponen
terbesar bangsa Indonesia. PAN berpendirian bahwa tidak bijak bila
petani kita tidak memperoleh perlindungan di era globalisasi dan
liberalisasi dewasa ini. Negara-negara maju pun tidak malu-malu
memproteksi nasib petani mereka yang bernasih sudah jauh lebih
baik dari petani kita. Maka paling tidak, pemerintah Indonesia
harus mengupayakan agar petani dapat menjual produknya di atas
ongkos produksi yang dikeluarkan.
Ketiga, di samping petani, kaum pekerja kita juga tergolong bagian
tubuh bangsa yang cukup menderita. Keum pekerja kita seolah tidak
mempunyai harapan apa-apa di masa depan. Padahal hidup tanpa
harapan adalah hidup yang sepi, sedih dan prihatin. Saya
seringkali berpikir bagaimana merombak cara penggajian berdasarkan
UMR [upah minimum regional]. Hakikatnya dengan UMR para buruh kita
diharapkan sekadar masih hidup, mampu bernafas dan masih punya
sisa tenaga untuk melanjutkan proses produksi saja. Mungkinkah UMR
diganti dengan upah maksimum yang dapat diberikan para majikan
dengan menjadikan komponen upah sebagai bagian terpenting dari
proses produksi? Agar burtuh kita tak menjadi sekadar alat
produksi yang dieksploitasi habis-habisan oleh para pemilik modal?
Keempat, sejak dulu sampai sekarang belum ada pemerintah yang
benar-benar memiliki kemauan politik untuk memberantas korupsi.
PAN berkeyakinan ada kolusi misterius antara para pelaku korupsi
kaliber kakap dengan para penegak hukum. Namun bila ada
keberanian, kelugasan dan ketegasan, memberantas korupsi bukanlah
perkara mustahil. Tetapi memang hanya pemerintahan yang bersih dan
berani saja yang bisa memberantas korupsi.
Kelima, kita harus berusaha keras melepaskan diri dari
ketergantungan luar negeri dengan mengurangi utang luar negeri
secara bertahap. Kita telah menjadi bangsa yang kecanduan hutang.
Indonesia dikenal dunia sebagai beggar nation atau bangsa
pengemis. Bangsa musafir yang kesana kemari menengadahkan tangan
minta utang pada bangsa-bangsa lain. Mentalitas utang harus segera
diakhiri. Ini bukan retorika. Hampir semua ahli ekonomi yang saya
tanya mengatakan kita dapat secara bertahap mengakhiri utang luar
negeri. Kuncinya, lagi-lagi, adakah kemauan itu?
Keenam, industri yang hampir-hampir tak memerlukan modal dan
teknologi canggih tapi cenderung kita lupakan adalah industri
pariwisata. Fakta yang menarik adalah bahwa bahkan di
negara-negara maju, penghasilan nomor satu yang mereka peroleh
adalah hasil dari pariwisata. Sedangkan industri otomotif hanyalah
nomor dua. Indonesia dengan keindahan alamnya yang sulit
ditandingi oleh negara mana pun, dengan keragaman budaya, seni,
adat istiadat dan penduduk yang ramah tentu dapat menjadi obyek
wisata dunia yang sangat menguntungkan. Saya yakin sebagian energi
nasional kita harus kita arahkan ke sana.
Ketujuh, kita harus berusaha bersama untuk memantapkan kehidupan
demokrasi dengan memberantasn segala bentuk diskriminasi. Sebagai
bangsa besar, rujukan kita sangat jelas, sang saka merah putih,
ideologi dan falsafah negara Pancasila serta semboyan Bhineka
Tunggal Ika. Di dunia ada dua contoh cara mengelola kemajemukan
suatu bangsa. Yang satu gagal, yang satu lagi berhasil. Uni Soviet
akhirnya bubar karena membiarkan kehidupan yang serba
diskriminatif. Sedangkan Amerika Serikat tetap kokoh karena
kemampuan mengelola kemajemukan secara cerdas. Kemajemukan tanpa
diskriminasi dapat menjadi sumber kekuatan. Sebaliknya kemajemukan
disertai diskriminasi [agama, suku, ras, jenis kelamin, dan
sebagainya] akan berakhir dengan kehancuran.
Kedelapan, masa depan bangsa kita tergantung pada pemuda zaman
sekarang. Pepatan Arab menyatakan ”Syubbanul yaum, rijaalul
ghad” Sungguh mengerikan bila kita menyaksikan puluhan ribu,
mungkin ratusan ribu anak-anak muda yang telah menjadi korban
narkoba. Hakikatnya narkoba telah membunuh generasi muda bangsa
Indonesia. Kita harus mencontoh ketegasan negara tetangga dalam
menanggulangi meluasnya penggunaan narkoba. Di Singapura dan
Malaysia seorang yang terbukti memiliki beberapa gram dedah
langsung dihukum mati. Tidak peduli dia warga negara atau orang
asing. Di negara kita, produsen berkwintal-kwintal ekstasi
dibiarkan hidup tanpa eksekusi. Alangkah memprihatinkannya.
Kesembilan, sebagian pemimpin dan rakyat kita dewasa ini
sesungguhnya sedang melakukan ecocide atau membunuh
lingkungan alam, antara lain dengan merusak secara nyaris total
hutan-hutan kita. Penebangan hutan [illegal logging] hutan
kita dari hari ke hari semakin menggila. Jumlah penebangan liar
selama dua tahun [2001-2002] sama jumlahnya dengan yang terjadi 15
tahun sebelumnya. Bila tidak segera dihentikan, pada 2010 seluruh
hutan kita akan menjadi padang ilalang dengan segala implikasinya.
Khazanah flora Indonesia, termasuk keragaman aneka unggasnya akan
punah untuk selamanya. Untuk mencegah itu diperlukan program
mendesak untuk: [1] restrukturisasi HPH secara menyeluruh; [2]
reboisasi intensif dan ekstensif di bawah tekanan waktu yang
mungkin sudah tak memihak kita lagi; dan [3] mencegah
sungguh-sungguh kebakaran hutan yang selama ini pasti terjadi
setiap tahun yang telah menjatuhkan citra bangsa di dunia
internasional.
Kesepuluh, untuk memperkokoh persatuan dan kerukunan nasional kita
harus terus mengupayakan rekonsiliasi nasional. Rekonsiliasi
nasional itu memang mengandung banyak agenda. Antara lain kita
harus dapat menyelesaikan dengan arif dan adil jutaan anak-anak
bangsa yang di luar kemampuan mereka terlahir menjadi anak para
aktivis PKI di tahun 1960-an. Saya yang pada tahun 1965 masih
berusia muda, apalagi belum lahir, tentu harus mendapat hak-hak
warga negara mereka secara penuh. Tidak masuk akal bila mereka
harus menanggung dosa politik warisan.
Sedangkan konflik antar agama di Maluku dan Maluku Utara kini
sudah nyaris usai. Perlu diupayakan rebuilding dua wilayah
itu dari segi sarana fisik, pemukiman, rumah ibadah, sekolah, dan
lain-lain. Serta pemulihan kerukunan beragama di sana yang dulu
pernah menjadi contoh par excellence di dunia.
Dalam konteks Aceh, bila insya Allah GAM sudah dapat ditumpas,
maka rebuilding Aceh harus sejak sekarang mulai dipikirkan.
Memulihkan harkat dan martabat rakyat Aceh; memberikan kompensasi
optimal terhadap kezaliman sosial dan ekonomi yang diderita rakyat
Aceh selama kurun waktu yang panjang; serta tidak pernah
mengulangi lagi pelanggaran HAM di tanah Aceh oleh pemerintah
Jakarta, merupakan program sangat mendesak. Kita tidak boleh
kehilangan tongkat berkali-kali dalam menyelesaikan penderitaan
Aceh yang sebab-sebabnya sudah kita pahami bersama.
Demikian juga persoalan sosial, ekonomi, dan politik di Tanah
Papua [Irian Jaya] harus dipecahkan lebih dini secara tegas, arif,
dan adil daripada menunggu persoalan menjadi lebih besar.
Kesebelas, kita perlu membangun politik luar negeri yang bebas dan
aktif bukan dengan cara yang gamang, was-was, dan kadang-kadang
setengah hati tetapi dengan pola politik luar negeri yang yakin
diri, tegas dan mantap. Kebiasaan melakukan internasionalisasi
masalah domestik harus kita hentikan. Lepasnya Tim-Tim dari
pangkuan Republik Indonesia sesungguhnya disebabkan terutama
intervensi internasional yang kita undang. Berlarut-larutnya
persoalan Aceh menjadi makin pelik tentu juga karena peranan
eksternal yang dimasukkan secara sengaja oleh pemerintah kita.
Karena itu kita praktikkan saja secara konvensional yakni masalah
yang bersifat domestik kita pecahkan dengan kreativitas, kearifan,
dan kewaskitaan sendiri, tanpa harus mengundang pihak asing untuk
mengintervensi.
Keduabelas, sejak sekarang juga kita tidak boleh melakukan hal-hal
yang dapat berimplikasi keretakan nasional. Kita budayakan sikap
kritis dan kreatif terhadap diri sendiri maupun pihak lain. Akan
tetapi semua itu harus kita lakukan secara dewasa dan bertanggung
jawab. Bangsa Indonesia tak boleh retak. Bung karno sering
mengingatkan bahwa a divided nation cannot stand. Sebuah
bangsa yang retak ke dalam tak mungkin dapat berdiri tegak.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan sebuah cerita. Tahun lalu
saya berkunjung ke Tiongkok untuk ketiga kalinya. Ketika saya dan
rombongan dijamu makan malam oleh Tuan Lie Peng, mantan Perdana
Menteri Cina yang kini menjadi Ketua Majelis Rakyat Cina, saya
bertanya: “Apa rahasia keberhasilan RRC yang sangat mengagumkan
hampir di berbagai bidang kehidupan, terutama di bidang ekonomi”?
Tuan Li Peng menjawab singkat: “stop quarrelling, be united and
work hard.” Berhenti cekcok, bersatu, dan kerja keras.
Agaknya jawaban singkat itu juga berlaku bagi Indonesia. Akhirnya
marilah kita resapi firman Allah SWT: “fa inna ma’al’usri
yusra, inna ma’al usri yusra”. Maka sesungguhnya beserta
kesulitan ada kemudahan [dan] beserta kesulitan selalu ada
kemudahan. Juga: fa idza faraghta fanshab waila rabbika farghab”.
Bila engkau telah selesai dengan satu pekerjaan, segeralah bangkit
kembali untuk membuat prestasi baru dan kepada Tuhanmu hendaknya
engkau serahkan harapan.
Kita harus terus bergerak ke depan tanpa pernah berhenti. Seperti
kata Bung Karno, for a fighting nation, there is no journey’s
end. Bagi suatu bangsa yang sedang berjuang, tidak ada stasiun
akhir.
Maju terus dengan izin Allah.
|